Ada beberapa alasan, mengapa deklarasi Islam Nusantara
sulit diterima;
1. NUSANTARA ADALAH ISTILAH PRA-ISLAM
Sebagaimana dimaklumi, istilah nusantara merupakan istilah
yang digunakan oleh masyarakat sebelum datangnya Islam di Indonesia. Dalam
catatan sejarah, istilah nusantara dideklarasikan oleh Patih Gajah Mada,
setelah diangkat sebagai Amangkubhumi di Kerajaan Majapahit. Dalam bahasa
agama, istilah nusantara adalah istilah Jahiliah, yaitu istilah yang digunakan
oleh masyarakat kita sebelum masuknya Islam ke Indonesia. Berkaitan dengan
konteks ini, Islam mencela untuk mengajak atau menyerukan pada suatu istilah
dan slogan yang digunakan oleh orang-orang Jahiliah.
عَنْ أُبَيٍّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ تَعَزَّى
بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوهُ وَلاَ تَكْنُوهُ» رواه أحمد والبخاري في
الأدب المفرد
Ubai bin Ka’ab berkata: “Aku mendengar Nabi Saw bersabda:
“Barangsiapa menisbatkan dirinya kepada seruan Jahiliah, maka suruhlah ia
menggigit penis ayahnya, dan janganlah mengatakannya dengan bahasa sindiran.”
(HR Ahmad [21234], dan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad [963]).
Hadits tersebut memberikan pesan, bahwa orang yang
menisbatkan dirinya kepada seruan Jahiliah, seperti seruan berdasarkan
kesukuan, golongan, teritorial dan kedaerahan, haruslah dimaki-maki dengan
disuruh menggigit penis ayahnya dengan bahasa yang tabu. Demikian penjelasan
al-Munawi dalam Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir (juz 1 hlm 357). Seruan
yang dilarang tersebut adalah seruan yang bertujuan memamerkan kehebatan dan
keberanian golongannya. Tindakan semacam ini juga diperintahkan oleh Khalifah
Umar bin al-Khaththab:
عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، قَالَ: قَالَ
عُمَرُ: «مَنِ اعْتَزَّ بِالْقَبَائِلِ فَأَعِضُّوهُ أَوْ فََأَمِصُّوْهُ». رواه
ابن أبي شيبة في المصنف
Abu Mijlaz berkata: “Umar berkata: “Barangsiapa yang
membangga-banggakan kesukuannya, maka suruhlah ia menggigit atau mengecup penis
ayahnya.” (HR Ibnu Abi Syaibah, [37184]).
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ
بْنِ كُرَيْزٍ، قَالَ: كَتَبَ عُمَرُ إِلَى أُمَرَاءِ اْلأَجْنَادِ: «إِذَا
تَدَاعَتِ الْقَبَائِلُ فَاضْرِبُوهُمْ بِالسَّيْفِ حَتَّى يَصِيرُوا إِلَى
دَعْوَةِ اْلإِسْلاَمِ»
Thalhah bin Ubdaidillah bin Kuraiz berkata: “Khalifah Umar
telah mengirim surat kepada para perwira tentara: “Apabila suku-suku
saling berseru pada kesukuannya, maka pukullah mereka dengan pedang, sehingga
mereka kembali pada seruan Islam”. (HR Ibnu Abi Syaibah, [37185]).
عَنْ أَبِي عُقْبَةَ، وَكَانَ مَوْلًى
مِنْ أَهْلِ فَارِسَ، قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أُحُدًا، فَضَرَبْتُ رَجُلاً مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَقُلْتُ: خُذْهَا
مِنِّي وَأَنَا الْغُلاَمُ الْفَارِسِيُّ، فَالْتَفَتَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «فَهَلاَّ قُلْتَ خُذْهَا مِنِّي،
وَأَنَا الْغُلاَمُ اْلأَنْصَارِيُّ» رواه ابو داود وابن ماجه
Abu Uqbah, seorang maula (budak) dari ras Persia,
berkata: “Aku mengikuti peperangan Uhud bersama Rasulullah Saw. Lalu aku
memukul seorang laki-laki musyrik. Aku berkata: “Terimalah pukulan ini dariku.
Akulah pemuda Persia.” Lalu Rasulullah Saw menoleh kepadaku, seraya
bersabda: “Mengapa kamu tidak berkata: “Terimalah pukulan ini dariku. Akulah
pemuda Anshar.” (HR Abu Dawud [5123], dan Ibnu Majah [2784]).
Dalam hadits tersebut diterangkan, seorang pemuda
dari Persia mengikuti peperangan Uhud bersama Rasulullah Saw. Ia
memukul seorang laki-laki musyrik. Tentu pukulan tersebut sangat berharga dalam
pandangan agama. Ketika ia memukul seorang laki-laki musyrik tadi, dengan
bangganya ia berkata, “Terimalah pukulan ini dariku, seorang
pemuda Persia”. Mendengar ucapan pemuda tersebut, dengan halus Rasulullah
Saw menegurnya, “Mengapa tidak kamu katakan, “Pukulan dari pemuda kaum Anshar”.
Karena laki-laki tersebut termasuk budak yang dimerdekakan sahabat Anshar.
Rasulullah Saw melarang menisbatkan kebanggaannya kepada Persia, negeri
Jahiliah pada saat itu. Beliau justru memerintahkannya, agar menisbatkan
pukulannya kepada kaum Anshar, keluarga majikannya. Gelar dan afiliasi Anshar
adalah kebangaan yang diakui dalam al-Qur’an. Tidak demikian halnya
dengan Persia yang Jahiliah pada saat itu. Mengomentari hadits
tersebut, Syaikh Abdul Ghani al-Mujaddidi al-Dahlawi berkata:
قَدْ عُلِمَ مِنْ هَذَا اَنَّ
اْلاِنْتِسَابَ اِلَى الْجَاهِلِيَّةِ غَيْرُ مَحْمُوْدٍ فَإِنَّ أَهْلَ فَارِسَ
كَانُوْا مُشْرِكِيْنَ وَاْلأَنْصَارُ شِعَارُ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ فَيَنْبَغِيْ لِكُلِّ مُسْلِمٍ اَنْ لاَ يَفْتَخِرَ بِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ
Telah diketahui dari hadits ini, bahwa menisbatkan diri
kepada perkara Jahiliah tidaklah terpuji. Karena pendudukPersia adalah
orang-orang musyrik. Sedangkan Anshar adalah slogan Nabi Saw. Maka sebaiknya
setiap Muslim tidak berbangga dengan kaum Jahiliah. (Syaikh Abdul Ghani al-Mujaddidi
al-Dahlawi, Injah al-Hajah juz 1 hlm 200).
Nahdlatul Ulama ketika menamakan salah satu Badan Otonominya
dengan nama Gerakan Pemuda Anshar, maka sangat tepat, karena memang sangat
islami. Tetapi ketika mendeklarasikan gerakan barunya dengan nama Islam
Nusantara, justru tidak tepat, karena nusantara adalah istilah pra-Islam
(Jahiliah) yang dipopulerkan oleh Patih Gajah Mada pada masa kejayaan Majapahit
yang beragama Hindu. Al-Imam Ibnu al-Mulaqqin, ketika mengomentari hadits tentang
seruan kaum Jahiliah berkata:
وَقَوْلُهُ: (“مَا بَالُ دَعْوَى
أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ؟ “) يَقُوْلُ: لاَ تَدَاعَوْا بِالْقَبَائِلِ وَلاَ
بِاْلأَحْرَارِ، وَتَدَاعَوْا بِدَعْوَةٍ وَاحِدَةٍ بِاْلإِسْلاَمِ.
Sabda Nabi Saw: “Ada apa melakukan seruan kaum
Jahiliah?” Maksudnya: “Janganlah kalian saling berseru atas nama suku dan
golongan orang-orang yang merdeka. Berserulah dengan satu seruan, yaitu Islam.
(Ibnu al-Mulaqqin, al-Taudhih li-Syarh al-Jami’ al-Shahih, juz 20 hlm 68).
Pernyataan Ibnu al-Mulaqqin tersebut didasarkan pada hadits
shahih berikut ini:
عَنِ الْحَارِثِ اْلأَشْعَرِيِّ،
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَمَنْ دَعَا
بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ، فَهُوَ مِنْ جُثَاءِ جَهَنَّمَ ” قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَإِنْ صَامَ، وَإِنْ صَلَّى ؟
قَالَ: ” وَإِنْ صَامَ، وَإِنْ صَلَّى، وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ، فَادْعُوا
الْمُسْلِمِينَ بِأَسْمَائِهِمْ بِمَا سَمَّاهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. رواه أحمد
Dari al-Harits al-Asy’ari, bahwa Nabi Saw bersabda:
“Barangsiapa yang berseru dengan seruan kaum Jahiliah, maka ia termasuk
penghuni Jahannam.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, meskipun orang tersebut
berpuasa dan shalat?” Beliau menjawab: “Meskipun ia berpuasa, shalat dan mengaku
dirinya Muslim. Serulah kaum Muslimin dengan nama-nama mereka, dengan nama yang
Allah berikan kepada mereka, yaitu orang-orang Islam, orang-orang beriman dan
hamba-hamba Allah.” (HR Ahmad [17170]).
Kesimpulan dari paparan di atas, penyematan nama Nusantara
terhadap Islam adalah penyematan nama Jahiliah yang tidak baik terhadap nama
Islam yang sudah baik. Hal tersebut, tentu tidak etis dan harus kita jauhi.
2. ISTILAH ISLAM NUSANTARA TIDAK DIPERLUKAN
Kalau ada yang bertanya, perlukah kita mengusung istilah
Islam Nusantara? Menjawab pertanyaan ini, KH Ma’ruf Amin menulis dalam
artikelnya sebagai berikut:
“Sebagai tema Muktamar NU 2015 di Jombang yang digelar
beberapa waktu lalu, Islam Nusantara memang baru dideklarasikan.Namun, sebagai
pemikiran, gerakan, dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita.
Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah.”
Pernyataan KHMA di atas memberikan kesimpulan bahwa Islam
Nusantara memang baru dideklarasikan. Tetapi sebagai pemikiran, gerakan dan
tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita. Islam Nusantara adalah
Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah. Nah, apabila KHMA mengakui bahwa
Islam Nusantara memang Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nahdliyyah, berarti
keberadaan Islam Nusantara sangat tidak diperlukan. Hal ini terbukti, bahwa
sejak sebelum munculnya istilah Islam Nusantara, Islam Ahlussunnah Waljamaah
telah berjalan dengan baik. Kalau Islam Nusantara memang tidak diperlukan, maka
seharusnya orang yang berakal sehat meninggalkannya, apalagi banyak kiai yang
tidak menyetujuinya. Dalam hadits shahih, Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ
تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ
“Abu Hurairah berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Termasuk
kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.”
(HR al-Tirmidzi dan lain-lain).
3. ISTILAH ISLAM NUSANTARA MENGABURKAN ASWAJA
Konsep Islam Nusantara adalah konsep yang mengaburkan
Ahlussunnah Wal-Jamaah bagi warga nahdliyyin. Mengapa demikian? KHMA berkata:
“Mengapa di sini perlu penyifatan al-Nahdliyyah? Jawabnya
adalah karena banyak kalangan lain di luar NU yang juga mengklaim sebagai
pengikut Ahlussunnah Waljamaah (disingkat Aswaja), tetapi memiliki cara pikir,
gerakan, dan amalan yang berbeda dengan NU.”
Sebenarnya penyifatan al-Nahdliyyah ini datang kemudian
yaitu pada MUNAS NU tahun 2006 di Surabaya. Pada masa-masa sebelumnya,
tidak dikenal penyifatan al-Nahdliyyah. Menurut hemat penulis penyifatan
tersebut justru tidak perlu. Mengapa tidak perlu? Sebagaimana dimaklumi, bahwa
Aswaja yang diikuti oleh NU adalah Asy’ariyah-Maturidiyah. Sedangkan
Asy’ariyah-Maturidiyah tidak hanya diikuti oleh NU. Bahkan beberapa Ormas
keagamaan diIndonesia, seperti Nahdlatul Wathan di NTB, PERTI di Sumatera
Barat, Washliyah di Sumatera Utara dan lain-lain, juga mengikuti
Asy’ariyah-Maturidiyah. Dengan demikian penyifatan al-Nahdliyyah berarti tidak
sesuai dengan kenyataan. Karena Aswaja yang sama tidak hanya diikuti oleh NU.
Atau istilah al-Nahdliyyah tersebut sebagai respon damai
terhadap kaum Wahabi yang juga mengklaim sebagai Ahlussunnah Waljamaah. Maka
penyifatan al-Nahdliyyah, berarti pengakuan terhadap eksistensi Wahabi sebagai
bagian dari Ahlussunnah Wal-Jamaah, dan hal ini berarti bertentangan dengan
kitab-kitab mu’tabaroh yang menjadi rujukan NU, yang menegaskan bahwa Wahabi
bukan Ahlussunnah Waljamaah. Wahabi menganggap Asy’ariyah-Maturidiyah bukan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Asy’ariyah-Maturidiyah menganggap Wahabi juga bukan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Pengakuan NU terhadap Wahabi sebagai Aswaja, tentu
menimbulkan kerancuan.
4. KONSEP ISLAM NUSANTARA ASAL-ASALAN
Ketika menjelaskan tiga pilar Islam Nusantara, KH Ma’ruf
Amin berkata:
“Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang
moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak
tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir
secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum
Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam
al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika ”al-jumûd ‘alã
al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan
yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang
selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud
agama. Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan
metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir
di kalangan NU.”
Dalam pernyataan di atas ada beberapa kerancuan Islam
Nusantara yang perlu diluruskan. Pertama, KHMA menguraikan pilar pertama Islam
Nusantara yang meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Lalu beliau
memberikan syarh terhadap maksud moderat tersebut dengan penjelasan:
“Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak
tekstualis, tetapi juga tidak liberal.”
Tentu syarh yang beliau sampaikan di atas tidak tepat.
Mengapa tidak tepat? Ketika kita berbicara tentang konsep general suatu gerakan
pemikiran, katakanlah gerakan pemikiran Islam Nusantara yang diklaim sebagai
Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah, maka konsep yang di gulirkan haruslah juga
bersifat general dan komprehensif. Maka, berbicara Ahlussunnah Wal-Jamaah
secara pemikiran, berarti pembicaraan paling pokok adalah menyangkut akidah.
Sedangkan pembicaraan berkaitan dengan akidah, kerangka pemikian yang
ditetapkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah ada yang tekstualis dan ada
yang tidak tekstualis. Sementara kerangka pemikiran Islam Nusantara terkesan
semuanya tidak tekstualis. Lalu dikatakan tidak liberal. Padahal yang menolak
pemahaman tekstualis secara general justru yang liberal. Ini namanya konsep
asal-asalan.
Dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan hadits, ada yang
harus dipahami secara tekstual dan ada yang harus dipahami secara tidak
tekstual. Al-Imam Abu Amr al-Dani al-Asy’ari al-Maliki (371-440 H/981-1053 M)
berkata:
وَالْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلىَ
ظَاهِرِهِمَا، وَعُمُوْمِهِمَا إِلاَّ مَا خَصَّهُ الرَّسُوْلُ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَيَانٍ أَوْ خَبَرٍ، أَوْ فَسَّر مُشْكِلَهُ، أَوْ أَعْلَمَ
بِمَنْسُوْخِهِ، أَوْ وُقِفَ عَلىَ نَاسِخِهِ، أَوْ قَامَ الدَّلِيْلُ عَلىَ
ذَلِكَ مِنْ سُنَّةٍ أَوْ إِجْمَاعٍ، فَإِذَا أَعْلَمَ الرَّسُوْلُ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ، أَوْ عُلِمَ مِنْ إِحْدَى هَذِهِ الْجِهَاتِ
الَّتِيْ تَقُوْمُ بِهَا الْحُجَّةُ، لَمْ يُرَدَّ عَامٌ مِنْهُ إِلىَ خَاصٍّ،
وَلاَ خَاصٍّ مِنْهُ إِلىَ عَامٍّ.
Al-Qur’an dan Sunnah mengikuti arti literal (tekstual)nya
dan keumuman (general)nya, kecuali teks yang dibatasi oleh Rasul Saw dengan
penjelasan atau informasi, atau dijelaskan kemusykilannya, atau diberitahukan
teks yang dinasakh darinya, atau diketahui teks yang menasakhnya atau ada dalil
atas hal tersebut dari sunnah dan ijma’. Maka apabila Rasul Saw memberitahukan
hal tersebut, atau hal itu diketahui dari salah satu arah tadi yang dapat
menjadi hujjah, maka teks yang umum tidak bisa dikembalikan kepada yang khusus,
dan yang khusus tidak bisa dikembalikan kepada yang umum. (Al-Dani, al-Risalah
al-Wafiyah, hlm 141).
Al-Imam Abu Amr al-Dani, adalah seorang ulama terkemuka
madzhab al-Asy’ari, dan murid al-Imam Abu Bakar bin al-Thayyib al-Baqillani.
Dalam bagian lain kitab yang sama, al-Dani berkata:
وَكُلُّ مَا قَالَهُ اللهُ تَعَالَى،
فَعَلىَ الْحَقِيْقَةِ، لاَ عَلىَ الْمَجَازِ، إِلاَّ أَنْ تَتَّفِقَ اْلأُمَّةُ
عَلىَ أَنَّ شَيْئاً مِنْهُ عَلىَ الْمَجَازِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاسْأَلِ
الْقَرْيَةَ} يُرِيْدُ أَهْلَهَا. فَأَمَّا قَوْلُهُ: {وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا} ، وَقَوْلُهُ: {وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ} {وَقُلْنَا يَا آَدَمُ} وَشِبْهُ ذَلِكَ فَعَلىَ
الْحَقِيْقَةِ، لاَ عَلىَ الْمَجَازِ.
Semua yang difirmankan oleh Allah Swt, maka diartikan secara
hakiki (tekstual), tidak secara majazil (metafor atau kontekstual). Kecuali
apabila para ulama bersepakat bahwa sesuatu dari firman tersebut diartikan
secara majaz (metafor), seperti firman Allah “Bertanyalah ke desa itu”,
maksudnya penduduk desa. Adapun firman Allah: “Dan Allah telah berbicara kepada
Musa dengan langsung.”, dan firman-Nya, “Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat”, “Kami berfirman, hai Adam”, dan yang serupa dengan firman-firman
tersebut, maka diartikan secara hakiki, tidak secara majaz. (Al-Dani,
al-Risalah al-Wafiyah, hlm 143).
Pernyataan al-Imam al-Dani di atas, menegaskan bahwa semua
ayat al-Qur’an harus diartikan secara tekstual, kecuali ayat-ayat yang
disepakati oleh para ulama harus diartikan secara kontekstual (majazi) atau
tidak tekstual.
Apabila kaedah Islam Nusantara di atas, yang mengartikan
agama secara tidak tekstual diterima secara general, maka berarti Islam
Nusantara bukan Ahlussunnah Wal-Jamaah lagi. Akan tetapi adakalanya bagian dari
liberal atau bagian dari aliran kebatinan, sebagaimana yang telah kita maklumi.
Kedua, kerancuan lain pada syarh di atas juga terletak pada
komentar KH Ma’ruf Amin berikut ini:
“Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash
(al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam
memahami teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli
usul fikih, menyatakan jika ”al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãl
fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan yang statis (tanpa tafsir)
penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di
dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Liberal dimaksud adalah
cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di
kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.”
Pernyataan KHMA dalam syarh di atas menandakan beliau lupa
dengan konsep Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam memahami nash. Padahal dalam ushul
fiqih, sudah dijelaskan secara gamblang tentang konsep hakikat, majaz, nash,
zhahir, ta’wil dan lain sebagainya. Tentu konsep-konsep tersebut dalam rangka
memahami teks-teks al-Qur’an dan hadits.
Sedangkan kutipan KHMA di atas dari al-Qarafi, seorang pakar
ushul fiqih bermadzhab Maliki, tidak sesuai dengan proporsinya. Mengapa
demikian? Ada beberapa alasan yang menjadikan kutipan dari al-Qarafi
di atas tidak proporsional:
a) Pernyataan al-Qarafi di atas bukan ditulis dalam kitab
beliau tentang ushul fiqih atau akidah. Justru pernyataan tersebut ditulis
dalam kitab beliau tentang kaedah fiqih.
b) Pernyataan al-Qarafi tersebut konteksnya bukan dalam
memahami teks-teks al-Qur’an seperti yang dinyatakan oleh KHMA di atas. Akan
tetapi dalam konteks mehamami fatwa-fatwa para ulama, yang tidak bisa
diterapkan sepanjang masa dan dalam berbagai kondisi. Akan tetapi harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di mana dan bagaimana suatu fatwa itu
harus dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan kaedah fiqih yang populer:
تَتَغَيَّرُ اْلأَحْكَامُ بِتَغَيُّرِ
اْلأَحْوَالِ وَاْلأَزْمَانِ
Hukum-hukum agama dapat berubah sesuai dengan perubahan
keadaan dan zaman.
c) Berkaitan dengan kaedah tersebut, kaum Wahabi tidak
berbeda dengan yang lain. Justru kaedah fiqih di atas dibela dengan luar biasa
oleh Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah, ulama panutan kaum Wahabi, sebagaimana
dipaparkan oleh Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam bukunya Dhawabith
al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah.
d) Penerjemahan terhadap pernyataan al-Qarafi di atas salah
fatal. Berikut pernyataan al-Qarafi secara lengkap beserta terjemahannya yang
benar:
عَلَى هَذَا الْقَانُوْنِ (وَهُوَ
اِتِّبَاعُ اْلأَعْرَافُ الْمَحَلِّيَّةُ) تُرَاعِى الْفَتَاوَى عَلىَ طُوْلِ
اْلأَيَّامِ، فَمَهْمَا تَجَدَّدَ فِي الْعُرْفِ اِعْتَبِرْهُ، وَمَهْمَا سَقَطَ
أَسْقِطْهُ، وَلاَ تَجَمَّدْ عَلىَ الْمَسْطُوْرِ فِي الْكُتُبِ طُوْلَ عُمْرِكَ،
بَلْ إِذَا جَاءَكَ رَجُلٌ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ إِقْلِيْمِكَ يَسْتَفْتِيْكَ، لاَ
تُجْرِهِ عَلىَ عُرْفِ بَلَدِكَ، وَاسْأَلْهُ عَنْ عُرْفِ بَلَدِهِ وَأَجْرِهِ
عَلَيْهِ، وَأَفْتِهِ بِهِ دُوْنَ عُرْفِ بَلَدِكَ وَالْمُقَرَّرِ فِيْ كُتُبِكَ،
فَهَذَا هُوَ الْحَقُّ الْوَاضِحُ. وَالْجُمُوْدُ عَلىَ الْمَنْقُوْلاَتِ أَبَداً ضَلاَلٌ فِي
الدِّيْنِ، وَجَهْلٌ بِمَقَاصِدِ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالسَّلَفِ
الْمَاضِيْنَ.
وَعَلىَ هَذِهِ الْقَاعِدَةِ
تَتَخَرَّجُ أَيْمَانُ الطَّلاَقِ وَالْعِتَاقِ، وَصِيَغِ الصَّرَائِحِ
وَالْكِنَايَاتِ، فَقَدْ يَصِيْرُ الصَّرِيْحُ كِنَايَةً يَفْتَقِرُ إِلىَ النِّيَّةِ،
وَقَدْ تَصِيْرُ الْكِنَايَةُ صَرِيْحاً، مُسْتَغْنِيَةً عَنِ النِّيَّةِ ”
Berdasarkan aturan ini (mengikuti tradisi lokal), Anda harus
memperhatikan fatwa Anda seumur hidupmu. Apabila dalam suatu tradisi terjadi
pembaharuan, Anda harus mempertimbangkannya. Apabila gugur, Anda harus
menggugurkannya. Janganlah Anda bersikap kaku terhadap redaksi yang tertulis
dalam kitab-kitab seumur hidup Anda. Bahkan apabila seorang laki-laki
mendatangi Anda dari selain penduduk daerah Anda meminta fatwa, janganlah memperlakukannya
sesuai tradisi negeri Anda. Tanyakan tradisi negerinya, lalu perlakukan sesuai
tradisi itu. Fatwakan sesuai tradisinya, bukan tradisi negeri Anda dan yang
menjadi ketetapan dalam buku-buku Anda. Ini adalah yang benar dan jelas. Kaku
terhadap ibarat-ibarat yang dinukil (dalam kitab) selamanya adalah kesesatan
dalam agama, dan kebodohan terhadap tujuan para ulama kaum Muslimin dan
generasi salaf yang lampau. Atas kaedah inilah, diarahkan sumpah-sumpah talak
dan memerdekakan budak, redaksi-redaksi tegas dan kinayah. Terkadang kalimat
yang tegas menjadi kinayah, sehingga memerlukan niat. Terkadang kinayah menjadi
tegas, yang tidak memerlukan niat. (Al-Qarafi, al-Furuq juz 1 hlm 386-387,
editor Umar Hasan al-Qiyam, terbitan Muassasah al-Risalah).
Perhatikan, pernyataan al-Qarafi dan terjemahannya secara
lengkap, dan bandingkan dengan terjemahan serta pemahaman Islam Nusantara. Di
situ terjadi kesalahan yang menurut hemat penulis, termasuk fatal dalam
menerjemahkan, dan kerancuan dalam mengarahkan maksud pernyataan al-Qarafi yang
tidak proporsional. Walhasil, pengusung Islam Nusantara yang mengklaim Islam
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, kurang teliti kaedah-kaedah Ahlussunnah Wal-Jamaah,
kurang teliti terhadap perbedaannya dengan Wahabi dan tidak proporsional dalam
meletakkan suatu kaedah dan pernyataan para ulama.
Sumber: Akun Facebook Muhammad Idrus Ramli
Situs Resmi Habib Rizieq
0 komentar:
Posting Komentar